Sekolah Untuk Apa?
Beberapa hari ini kita membaca berita betapa sulitnya anak-anak kita mencari sekolah. Masuk universitas pilihan, susahnya setengah mati. Kalaupun diterima, bak lolos dari lubang jarum. Sudah masuk, ternyata banyak yang “salah kamar”. Sudah sering saya mengajak dialog mahasiswa yang bermasalah dalam perkuliahan yang begitu digali selalu mengatakan mereka masuk jurusan yang salah.
Demikianlah, diterima di PTN masalah, tidak diterima juga masalah. Kalau ada uang bisa kuliah di mana saja. Bagaimana kalau uang tak ada? Hampir semua orang ingin menjadi sarjana, bahkan masuk program S2. Jadi birokrat atau jendral pun, sekarang banyak yang ingin punya gelar S3. Persoalan seperti itu saya hadapi waktu lulus SMA tiga puluh tahun yang lalu, dan ternyata masih menjadi masalah hari ini. Bahkan sekarang, memilih SMP dan SMA pun sama sulitnya.
Mengapa hanya soal memindahkan anak karena pindah rumah ke sekolah negeri lain saja biayanya begitu besar? Padahal bangku sekolah masih banyak yang kosong. Masuk sekolah susah, pindah juga sulit, diterima di perguruan tinggi untung-untungan, cari kerja susahnya minta ampun. Lengkap sudah masalah kita.
Kalau kita sepakat sekolah adalah jembatan untuk mengangkat kesejahteraan dan daya saing bangsa, mengapa dibuat sulit? Lantas apa yang harus dilakukan orang tua? Jadi sekolah untuk apa di negeri yang serba sulit ini?
Kesadaran Membangun SDM
Lebih dari 25 tahun yang lalu, saat berkuasa, PM Malaysia Mahathir Mohammad sadar betul pentingnya pembangunan SDM. Ia pun mengirim puluhan ribu sarjana mengambil gelar S2 dan S3 ke berbagai negara maju. hal serupa juga dilakukan China. Tidak sampai sepuluh tahun, lulusan terbaik itu sudah siap mengisi perekonomian negara. Hasilnya anda bisa lihat sekarang. BUMN di negara itu dipimpin orang-orang hebat, demikian pula perusahaan swasta dan birokrasinya.
Perubahan bukan hanya sampai di situ. Orang-orang muda yang kembali ke negerinya secara masif me-reform sistem pendidikan. Tradisi lama yang terlalu kognitif dibongkar. Old ways teaching yang terlalu berpusat pada guru dan papan tulis, serta peran brain memory (hafalan dan rumus) yang dominan mulai ditinggalkan. Mereka membongkar kurikulum, memperbaiki metode pengajaran, dan seterusnya. Tak mengherankan kalau sekolah-sekolah di berbagai belahan dunia pun mulai berubah.
Di negeri Belanda saya sempat terbengong-bengong menyaksikan bagaimana universitas seterkenal Erasmus begitu mudah menerima mahasiswa. “Semua warga negara punya hak untuk mendapat pendidikan yang layak, jadi mereka yang mendaftar harus kami terima,” ujar seorang dekan di Erasmus. Beda benar dengan universitas negeri kita yang diberi privilege untuk mencari dan mendapatkan lulusan SLTA yang terbaik. Seleksinya sangat ketat.
Lantas bagaimana membangun bangsa dari lulusan yang asal masuk ini? “Mudah saja,” ujar dekan itu. “Kita potong di tahun kedua. Masuk tahun kedua, angka drop out tinggi sekali. Di sinilah kita baru bicara kualitas, sebab walaupun semua orang bicara hak, soal kemampuan dan minat bisa membuat masa depan berbeda,”ujarnya.
Hal senada juga saya saksikan hari-hari ini di New Zealand. Meski murid-murid yang kuliah sudah dipersiapkan sejak di tingkat SLTA, angka drop out mahasiswa tahun pertama cukup tinggi. Mereka pindah ke politeknik yang hanya butuh satu tahun kuliah.
Yang lebih mengejutkan saya adalah saat memindahkan anak bersekolah di tingkat SLTA di New Zealand. Sekolah yang kami tuju tentu saja sekolah yang terbaik, masuk dalam sepuluh besar nasional dengan fasilitas dan guru yang baik. Saya menghabiskan waktu beberapa hari untuk mewancarai lulusan sekolah itu masing-masing, ikut tour keliling sekolah, menanyakan kurikulum dan mengintip bagaimana pelajaran diajarkan. Di luar dugaan saya, pindah sekolah ke sini pun ternyata begitu mudah.
Sudah lama saya gelisah dengan metode pembelajaran di sekolah-sekolah kita yang terlalu kognitif, dengan guru-guru yang merasa hebat kalau muridnya bisa dapat nilai rata-rata diatas 80 (betapapun stressnya mereka) dan sebaliknya memandang rendah terhadap murid aktif namun tak menguasai semua subjek. Potensi anak hanya dilihat dari nilai, yang merupakan cerminan kemampuan mengkopi isi buku dan cacatan. Entah dimana keguruan itu muncul kalau sekolah tak mengajarkan critical thinking. Kita mengkritik lulusan yang biasa membebek, tapi tak berhenti menciptakan bebek-bebek dogmatik.
Kalau lulusannya mudah diterima di sekolah yang baik di luar negri, mungkin guru-guru kita akan menganggap sekolahnya begitu bagus. Mohon maaf, ternyata tidak demikian. Jangankan dibaca, diminta transkrip nilainya pun tidak. Maka jangan heran, anak dari daerah terpencil pun di Indonesia, bisa dengan mudah diterima di sekolah yang baik di luar negeri. Bahkan tanpa tes. Apa yang membuat demikian? “undang-undang menjamin semua orang punya hak yang sama untuk belajar,” ujar seorang guru di New Zealand.
Lantas, bukankah kualitas lulusan ditentukan inputnya? “itu ada benarnya, tapi bukan segala-galanya,” ujar putera sulung saya yang kuliah di Auckland University tahun ketiga. Maksudnya, test masuk tetap ada, tetapi hanya dipakai untuk penempatan dan kualifikasi.
Di tingkat SLTA, mereka hanya diwajibkan mengambil dua mata pelajaran wajib (compulsory) yaitu matematika dan bahasa Inggris. Pada dua mata pelajaran ini pun mereka punya tiga kategori: akselerasi, rata-rata, dan yang masih butuh bimbingan. Sekolah dilarang hanya menerima anak-anak bernilai akademik tinggi karena dapat menimbulkan guncangan karakter pada masa depan anak, khususnya sifat-sifat superioritas, arogansi, dan kurang empati. Mereka hanya super dikedua kelas itu, di kelas lain mereka berbaur. Dan belum tentu superior di kelas lain karena pengajaran tidak hanya diberikan secara kognitif semata.
Selebihnya, hanya ada empat mata pelajaran pilihan lain yang disesuaikan dengan tujuan masa depan masing-masing. Bagi mereka yang bercita-cita menjadi dokter maka biologi dan ilmu kimia wajib dikuasai. Bagi yang akan menjadi insinyur wajib menguasai fisika dan kimia. Sedangkan bagi yang ingin menjadi ekonom wajib mendalami accounting, statistik dan ekonomi. Anak-anak yang ingin menjadi ekonom tak perlu belajar biologi dan fisika. Beda benar dengan anak-anak kita yang harus mengambil 16 mata pelajaran di tingkat SLTA di sini, dan semuanya diwajibkan lulus di atas Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Bayangkan, bukankah cita-cita pembuat kurikulum itu orangnya hebat sekali? Mungkin dia manusia super. Seorang lulusan SLTA, tahun pertama harus menguasai 4 bidang science (biologi, ilmu kimia, fisika dan Matematika), lalu tiga bahasa (Bahasa Indonesia, Inggris dan satu bahasa lain), ditambah PPKN, sejarah, sosiologi, ekonomi, agama, geografi, kesenian, olahraga dan komputer. Hebat sekali bukan? Tidak mengherankan kalau sekolah menjadi sangat menakutkan, stressful, banyak korban kesurupan, terbiasa mencontek, dan sebagainya. Harus diakui kurikulum SLTA kita sangat berat. Sama seperti kurikulum program S1 dua puluh tahun yang lalu yang sejajar dengan program S1 yang digabung hingga S3 di Amerika. Setelah direformasi, kini anak-anak kita bisa lulus sarjana tiga tahun. Padahal dulu butuh lima tahun. Dulu program doktor menyelesaikan di atas 100 SKS, makanya hampir tak ada yang lulus. Kini seseorang bisa lulus doktor dalam tiga tahun.
Anda bisa saja mengatakan, dulu kita juga demikian tapi tak ada masalah kok! Di mana masalahnya? Masalahnya, saat ini banyak hal telah berubah. Teknologi telah merubah banyak hal, anak-anak kita dikepung informasi yang lebih bersifat pendalaman dan banyak pilihan, namun datang dengan lebih menyenangkan. Belajar bukan hanya dari guru, tapi dari segala resources. Ilmu belajar menjari lebih penting dari apa yang dipelajari itu sendiri, karena itu diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, Lifelong learning.
Saya saksikan metode belajar telah jauh berubah. Seorang guru di West Lake Boys School di Auckland mengatakan, “Kami sudah meninggalkan old ways teaching sejak sepuluh tahun yang lalu. Makanya sekolah sekarang harus memberikan lebih banyak pilihan daripada paksaan. Percuma memberi banyak pengetahuan kalau tak bisa dikunyah. Guru kami ubah, metode diperbaharui, fasilitas baru dibangun,” ujar seorang guru.
Masih banyak yang ingin saya diskusikan, namun sampai di sini ada baiknya kita berefleksi sejenak. Untuk apa kita menciptakan sekolah, dan untuk apa kita bersekolah? Mudah-mudahan kita bisa mendiskusikan lebih dalam minggu depan dan semoga anak-anak kita mendapatkan masa depannya yang lebih baik.
Rhenald Kasali
Ketua Program MMUI
MENGENALI MESIN KECERDASAN ANDA/ANANDA
MELALUI TEST FINGER PRINT STIFIn
Bakat apa yang dominan pada anak anda? Ketahui bakat anak anda sejak dini,
sehingga kita lebih mudah menggali potensi dan mengarahkan
perkembangan anak
Apakah anda sudah mengetahui apa bakat dan kemampuan anak-anak anda? Segera ketahui dengan TES SIDIK JARI STIFIn (Pertama di indonesia),
makin cepat tahu, maka lebih baik, agar kita tidak keliru mengarahkan
anak-anak kita.
Sudahkah kita mengenali diri kita ?
Bisnis apa yang harus saya pilih ? ikut trend, atau blue ocean?
Apa sekolah yang tepat untuk anak saya?
Bagaimana cara tercepat, jalur tersingkat meningkatkan produktivitas karyawan?
TAHUKAH ANDA? bahwa mesin kecerdasan dan personaliti anda dapat disimpulkan dari komposisi susunan syaraf yang ada pada ujung jari anda?
Anjuran STIFIn:
Berinvestasilah pada kelebihan anda, biarkanlah kelemahan anda terdidik secara alamiah. Jika anda fokus pada kelebihan anda sama dengan anda menjalani hidup di "karpet merah" anda, jalur sukses anda. Jalur terbaik yang diberikan Tuhan kepada anda. Akhirnya anda menjadi tahu bagaimana caranya bersyukur kepada Tuhan, dengan menggunakan ilmu yang betul.
STIFIn Fingerprint membantu kita untuk lebih mengenal diri , pasangan, anak-anak, karyawan, dan anak didik kita
Anda tertarik untuk mengenal potensi diri anda? Lakukan tes STIFIn Fingerprint
Dengan investasi seharga sepasang sepatu (cukup dilakukan satu kali seumur hidup) Anda akan mengenal cetak biru hidup anda karya Farid Poniman
Kami siap (sesuai permintaan) lakukan tes ini di sekolah, lembaga pendidikan atau acara seminar di kota Anda
“Test Finger Print STIFIn sangat berguna dan membantu untuk guru-guru Bimbingan konseling di SMA dan SMK di Kota Bogor.”
Ibu Guru Ketua MGMP SMA dan SMK se-Kota Bogor
Daftar Hasli tes STIFIn Finger Print
Tanggal 25 Agustus 2014
Tempat Tes: Gn Ceuri I Paseh Tasikmalaya
Nama Umur phone Hasil
SARAH LOGIANTI DIANI 16 th. 089692829720 Fi
Tanggal 25 Agustus 2014
Tempat Tes: Gn Ceuri I Paseh Tasikmalaya
Nama Umur phone Hasil
SARAH LOGIANTI DIANI 16 th. 089692829720 Fi
Tempat Tes. JL. GEBLAGAN 42 TAMANTIRTO KASIHAN BANTUL YOGYAKARTA
Tempat Tes. PONPES MIFTAHUL HUDA 2 BAYASARI JATINAGARA CIAMIS
RAHASIA KELUARGA TENTRAM DAN HARMONIS (Versi STIFIn)
oleh:Dwi Kirana LS
Pembagian peran seseorang dalam interaksi sosial suatu keniscayaan. Begitupun dalam mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga antara suami dan istri secara kodrati pasangan itu dicipta, bahwa suami sebagai nahkoda untuk memimpin sedangkan istri disisi yang lain berperan sebagai pengatur untuk mengelola kehidupan rumah tangga.
Interaksi yang terjadi pada pasangan suami dan istri (pasutri) tiada pembedaan kasta atau status kelasnya, dimana istri dijadikan abdi dalem (jawa=orang belakang) yang kegiatannya seputar kasur dan dapur dengan perannya sebagai batur (jawa= pembantu) pepatah menyatakan’surga nunut neraka katut’ yang berarti kalau bisa masuk surga karena menyertai suami sebaiknya masuk nerakapun diikutinya alias pupuk bawang (ikut-ikutan) dan suami menempati posisi di atas (terhormat) layaknya majikan semua minta dilayani.
Islam memandang peran pasutri sebagai sahabat. Awal perserikatan mereka pada pernikahan untuk kebaikan. Karena istri memiliki potensi bisa menentramkan serta memberikan kesenangan pada suami (Qs. 30: 21 dan Qs. 7: 189) maka Islam memberi jalan pada suami agar memperlakukan istri dengan baik dalam hal pemberiannya atas makanan dan pakaian serta tempat tinggal secara layak, perhatikan (Qs. 4:19; 2:233; 65:6).
Keserasian pasangan pun dalam keluarga tidak ditentukan dari kekayaan, fisik-ly seseorang ataupun martabat dari keluarganya, namun dikarenakan kepribadiannya. Komponen pembentuk kepribadian seseorang dapat dilihat melalui matras personality-nya dimana komponen tersebut bersifat genetic yang non heriditas. Maksudnya bukan karena diwariskan dari orang tuanya, melainkan berasal dari apa-apa yang dianugrahkan tuhan pada masing-masing orang secara spesial. Yakni diketahui pada lapisan otak sebelah dalam atau luar yang berwarna putih atau kelabu dan pada belahan otak sebelah mana dari system operasi seseorang dalam berfikir dan bersikap secara dominan dari yang paling kerap dipergunakan.
Prosesi keserasian yang ditampakkan kedua pasangan tersebut tidak semata hanya terpola pada komunikasi saja seperti pada pilihan vocabulary, intonasi penyampaian atau bahkan daya energy yang menyertai ucapan seseorang, melainkan kata Farid Poniman penemu mesin kecerdasan STIFIn: ‘juga tergantung dengan hubungan kemistrinya’. Dalam teori kecerdasan tunggal, Carl Gustaav Jung dengan jelas menyatakan bahwa satu orang hanya memiliki satu kemistri bawaan yang sejalan dengan jenis kecedasan tunggalnya. Kemistri (eng=cham), dalam istilah serapan dari buku DNA SUKSES-MULIA merupakan garis tangan dari mesin kecerdasan seseorang bila dimasukkan unsur alam semesta dari ilmu daratan china (teori U-sing) seperti tabel berikut.
Output persahabatan pasutri pada tabel hubungan kemistri akan melahirkan kesinergisan dalam membina keluarga hingga terpeliharanya keharmonisan hubungan mereka serta berkasih sayang (mawaddah wa rohmah). Disaat mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga tentu tidak semudah yang dibayangkan namun kepastian untuk memperoleh kemistri dari persahabatan tersebut sebagaimana yang telah dijanjikan Tuhan untuk mendapatkan keberlimpahan (arab=aghniya). Cobaan itu terkadang riak kecil ataupun besar yang kedatangnya pun pasti pula bergelombang serta pasang surutnya keyakinan untuk sampai pada suatu tujuan mulia yakni mengapai keridlo’an Sang pemberi kehidupan, membutuhkan perjuangan serta kesabaran. Mungkin badai datang dan berlalu, akan tetapi kesadaran kalian terhadap cobaan yang datang pasti menuntut suatu pengorbanan berupa kesetiaan dalam menjalankan perintah dan larangan larangan Tuhan dalam penyempurnaannya terlaksananya kewajiban.
Pengorbanan dapat berupa harta, tenaga/pikiran (jiwa). Inilah tabiat perjuangan dimanapun dan kapanpun, maka bukanlah hal yang istimewa apabila sewaktu-waktu pasangan Anda menginginkan mendapat pelayanan yang lebih dari cukup. Permakluman terhadap keterbatasan kemampuan dan kesempatan disuatu saat diperlukan, namun tidak menyebabkan kecerobohan hingga mengabaikan hak pasangannya apalagi sampai mencampakkan aturan Tuhan. Memang manusia tidaklah ma’shum (terbebas dari kesalahan), kesadaran pasangan untuk tidak berharap di luar kemampuan yang dimiliki, memahami perihal kelebihan dan kekurangan sahabatnya, sekalipun dia berpotensi dasar kemanusian yang sama yaitu pada akal manusia Tuhan memberinya pilihan jalan agar mereka dapat memilih sesuai perintah dan larangan-Nya atau berbuat kerusakkan (fasad).
Kreativitas pasutri dalam memecahkan hambatan kelemahan secara bersama merupakan bagian penting dalam persahabatan. Hal demikian akan berujung pada sinergi yang sanggup mengatasi kendala menjadi potensi sekaligus meramu potensi bersama yang membuahkan produktivitas melebihi kemampuannya sebelum menikah. Namun kejadian yang sering terjadi sebaliknya, lantaran pasangan Anda seolah menjadi pembeban bukan peringan beban yang dipikul dengan dalih pengkotak-kotakan kerja (peran) dalam interaksi kemistri menjadi dasar egoism untuk tidak mau tahu terhadap keberhasilan ataupun kegagalan pasangannya dalam menyempurnakan setiap kewajiban. Pemeliharaan anak misalnya, sekalipun merupakan tanggung jawab istri namun tidak berarti ayah haram membantu istrinya mengerjakan teknis mengasuh dan mendidik mereka.
Terakhir, penulis mengajak diri pribadi dan pemerhati keluarga agar tidak menjadikan rumah hanya sebatas tempat istirahat dan tidur, bernaung dari panas dan hujan, namun ia adalah wadah pencetakan dan pengemblengan generasi handal. Untuk itu suasakan rumah dengan kerinduan mengoptimalkan potensi diri yang sudah diketahui dengan terbukanya pintu depan karpet merah, meramu kelebihan dan mengeliminasi kendala demi kesempurnaan perjuangan yang wajib, yakni pada proses.
Pengorbanan dapat berupa harta, tenaga/pikiran (jiwa). Inilah tabiat perjuangan dimanapun dan kapanpun, maka bukanlah hal yang istimewa apabila sewaktu-waktu pasangan Anda menginginkan mendapat pelayanan yang lebih dari cukup. Permakluman terhadap keterbatasan kemampuan dan kesempatan disuatu saat diperlukan, namun tidak menyebabkan kecerobohan hingga mengabaikan hak pasangannya apalagi sampai mencampakkan aturan Tuhan. Memang manusia tidaklah ma’shum (terbebas dari kesalahan), kesadaran pasangan untuk tidak berharap di luar kemampuan yang dimiliki, memahami perihal kelebihan dan kekurangan sahabatnya, sekalipun dia berpotensi dasar kemanusian yang sama yaitu pada akal manusia Tuhan memberinya pilihan jalan agar mereka dapat memilih sesuai perintah dan larangan-Nya atau berbuat kerusakkan (fasad).
Kreativitas pasutri dalam memecahkan hambatan kelemahan secara bersama merupakan bagian penting dalam persahabatan. Hal demikian akan berujung pada sinergi yang sanggup mengatasi kendala menjadi potensi sekaligus meramu potensi bersama yang membuahkan produktivitas melebihi kemampuannya sebelum menikah. Namun kejadian yang sering terjadi sebaliknya, lantaran pasangan Anda seolah menjadi pembeban bukan peringan beban yang dipikul dengan dalih pengkotak-kotakan kerja (peran) dalam interaksi kemistri menjadi dasar egoism untuk tidak mau tahu terhadap keberhasilan ataupun kegagalan pasangannya dalam menyempurnakan setiap kewajiban. Pemeliharaan anak misalnya, sekalipun merupakan tanggung jawab istri namun tidak berarti ayah haram membantu istrinya mengerjakan teknis mengasuh dan mendidik mereka.
Terakhir, penulis mengajak diri pribadi dan pemerhati keluarga agar tidak menjadikan rumah hanya sebatas tempat istirahat dan tidur, bernaung dari panas dan hujan, namun ia adalah wadah pencetakan dan pengemblengan generasi handal. Untuk itu suasakan rumah dengan kerinduan mengoptimalkan potensi diri yang sudah diketahui dengan terbukanya pintu depan karpet merah, meramu kelebihan dan mengeliminasi kendala demi kesempurnaan perjuangan yang wajib, yakni pada proses.
ZONA KESUKSESAN DIRI SEBAGAI ORANG TUA
(Dwi Kirana LS)*
Setiap orang tua mendambakan agar anak-anaknya bisa tumbuh dan berkembang menjadi anak yang berbakat. Pertanyaannya berlebihankah mengidamkan anak yang mampu mendapatkan nilai ulangan yang bagus, menjadi bintang pelajar ataupun terpopuler dikalangan teman sebayanya dan guru. Saat berada di rumah, anak bisa diandalkan untuk melakukan kegiatan yang bersifat membantu orang tua dalam memasak, merapikan tempat tidurnya sendiri, membersihkan halaman rumah hingga menjaga rumah disaat orang tuanya keluar, juga sifat jujur, berintegritas dan komitmen dalam setiap penyelesaian tugas secara mandiri dan kreatif serta penuh percaya diri yang melekat dalam kepribadian anak sehingga kehadirannya menjadi bermanfaat untuk dirinya pribadi, orang tua, bangsa dan agamanya. Apakah sosok pribadi sempurna itu ada pada diri, keluarga dan anak-anak kita yang menjadi idaman setiap orang?
Berbagai keluhan dari penuturan kebanyakan orang tua bila dibuat daftar masalah dengan pengklasifikasiannya menurut ragam kecerdasan anak-anak mereka sebagaimana berikut.
Pertama, perilaku anak Insting sering bertengkar, terlihat tidak punya prinsip, tidak ada kemauan jika melakukan sesuatu terkesan setengah-tengah dan kata orang madura ‘kardiman’ (berbuat semau atau semua mau).
Kedua, perilaku anak Intuiting itu tidak teratur dan aneh, tidak realistik, tidak praktis, terlalu berangan-angan, sangat kompleks dan teoritis.
Ketiga, perilaku anak Sensing yang terlihat tidak imajinatif dan kreatif, membosankan dan tidak mau mengenal hal baru, tidak menarik, tidak bervisi ke depan dan dangkal.
Keempat, perilaku anak Feeling tidak logis, emosional, lemah, dan histeris.
Kelima, perilaku anak Thinking terlihat subjektif, dingin, tidak sensitif, tidak perhatian, raja tega dan keras kepala.
Hati orang tua mana yang tidak risau melihat kenyataan yang ada pada anak-anak mereka bila terlihat memiliki masalah diatas, tentu banyak pihak yang meragukan kesungguhan orang tua dalam mengupayakan anaknya menjadi pribadi yang unggul ataupun berprestasi. Hal tersebut sering diangkat oleh para konsultan dan pakar termasuk penemu mesin kecerdasan STIFIn Farid Poniman. Master coaching yang tinggal di Malasia ini memberi keteladanan sebagai upaya melejitkan prestasi NJ putri sulungnya dalam mengejar prestasi renang hingga menjadi juara dunia . Master PhD ini mengatakan bahwa: ‘masih ingat rumusan usaha dalam fisika, yakni usaha sama dengan gaya dikali jarak. Jadi kalau energi yang dikeluarkan tidak berhasil menciptakan jarak masih disebut gaya. Makanya, kalau berusaha yang betul supaya prestasinya bisa bergerak. Kalau tidak cuma bergaya dalam menjalankan program saja.’
Mungkinkah Anda termasuk orang tua yang belum menemukan blue print kesuksesan diri sebagai orang tua, dengan berbagi pengalaman dari orang lain yang telah menginspirasi banyak orang dan semoga penulispun tetap berada pada zona kesuksesan yang akan meretaskan jalan pembuka pintu depan menuju karpet merah dengan perasaan syukur dan ilmu yang memadai untuk tetap berusaha berjalan pada karpet itu. Sebagai orang tua yang merasakan hadirnya Dzat yang memberi kesempurnaan di dalam dirinya melalui sebuah proses yang terdisain secara sempurna dari kadar penciptaan khaliqnya, Dzat yang maha kuasa atas makhluk ciptaannya sebagai sesosok makhluk yang spesial ‘ahsani taqwin’ (Qs 95:4 _sesempurna bentukan) yang namanya manusia punya brain yang dengan itu Tuhan memberikan khasiat pada otaknya suatu potensi pengikat pemahaman kepadanya, ketika hendak memenuhi kebutuhan fisik dan naluri. Meskipun sang Khaliq menyatakannya ‘kabadin’(Qs.90:4_susah), hal tersebut karena manusia itu tercipta dari saripati unsur terkecil alam semesta (mikrokosmis) dalam analog ragam kecerdasan seperti tanah, besi, air, kayu dan api. Padahal penciptaan alam semesta jauh lebih besar, tetapi hal ini bagi Tuhanku cukup mengatakan: ‘kun fa yakun’ (Qs. 2:117_Jadi maka jadilah) tengok terjamah surat lainnya dalam al Mukmin ayat 57, Yasin ayat 80-81, dan al Mu’minun ayat 12 serta al A’raaf ayat 11.
Adapun yang dimaksud dengan zona kesuksesan adalah apabila para orang tua mampu menggunakan energinya untuk melangkah dalam suatu pergerakan menuju hasil yang luar biasa, yakni memiliki keturunan yang sesuai dambaan, sebagai sesuatu yang indah dipandang mata. Karena itu fokuskan perhatian terhadap diri sendiri (Qs 21:2) bagaimana Anda sebagai orang tua mengetahui jati diri dengan ukuran prevalensi yang sangat jelas dari ragam kecerdasan yang mencerminkan keyakinan Anda, kemampuan dan dapat menggambarkan prospek diri pribadi hingga merasakan kemistri mesin kecerdasan yang Anda punya didalamnya, dan bagaimana pasutri (pasangan suami istri) merealisasikan suatu usaha yang berbeda (Qs. 91:3-4) untuk melejitkan potensi kecerdasan atau bakat yang bersifat bawaan sejak dalam rahim, sebagaimana kata Buya Hamka dalam tafsirnya terhadap kalimah ‘syaakilatihi’ pada surat Isro’, sehingga dengan begitu Anda sebagai orang tua dapat berinvestasi pada segala kelebihan yang Anda miliki.
Disainlah hidup Anda yang bagus mulai dari proses, profesi dan output-nya sejalan dengan mesin kecerdasan. Penulis adalah orang Thinking Introvert (Ti) dan istri yang bermesinkan Sensing Introvert (Si) ditakdirkan dalam jodoh untuk saling mendukung, kemudian Tuhan juga mentakdirkan dengan memberikan keturunan anak yang bermesinkan Intuitung Introvert (Ii) bagi saya di dalam ketiga unsur (alam semesta, symbol jari jemari dan intisari diri) yang terdapat lima jenis mesin kecerdasan adalah anologi tahta dan harta, bagus dalam memiliki anak dengan protege I. Inilah modal besar kesesuaian mesin kecerdasan dalam keluarga saya sebagai habitat yang pas yang penulis syukuri sebagai karunia dari Dzat yang maha pemberi kesenangan dan kebahagian dengan menambahkan karunia-Nya pada kelimpahan putri dan putra yang kemistrinya dilimpahi harta (sensing extrovert).
Ya Tuhan saksikanlah, untuk menjadi Ayah dan Suami yang Ok, pertama penulis memagang komitmen untuk meraih kepercayaan anak, menghargai pendapatnya, bersikap jujur dan terbuka, dan senantiasa bekerjasama dengan istri dalam melijitkan potensi kecerdasan anak yang pertama intuiting, yakni dengan melakukan hal pembicaraan pada gambaran besar dan implikasinya, kemungkinan, juga pemakaian analogi dan metaphor, juga menggali pilihan/alternatif, menggugah imajinasinya dan tidak membebaninya dengan detil. Putri sulung saya itu bernama Zakiyah, tahun depan masuk SMP. Dia berkeinginan menjadi dokter namun disaat yang lain dia ingin pula menjadi Chef. Alhamdulillah selama proses belajar di SD Al Irsyad peringkat kelasnya masih masuk dalam the best ten, terakhir dalam tryout yang diselenggarakan sebuah bimbingan belajar terkemuka yang memiliki cabang di banyak provinsi di Indonesia. Zakiyah dapat melesat mengungguli teman kelasnya yang selama ini langganan menjadi juara kelas, tentunya setelah Zakiah dapat mengoptimalkan mesin kecerdasannya.
Terhadap istri penulis yang kelebihannya efisien (hemat) dan kedua anakku yang sedikit ada sifat borosnya dari mesin kecerdasan sensing (extrovept) lawan dari kelebihan dari introvertdari mesin tersebut, berbicara dengannya menyatakan suatu tema dengan jelas, sajikan fakta dan contoh, memberikan informasi secara bertahap, menekankan pada aplikasi praktis, dan selalu menyelesaikan kalimat jika berkomunikasi, juga menyertakan pengalaman nyata. Seperti dinyatakan dalam lembar lampiran tes STIFIn bahwa intisari diri kedua anakku adalah mencari ladang untuk menanam uang. Kedua putraku, himmah dan hajir kesehariannya sering meminta untuk beli-beli (jajan, dsb) namun semenjak mesin kecerdasannya diketahui maka tugas penulis untuk melejitkannya untuk berubah. Hasilnya mereka terbiasa untuk menabung bahkan Dzulhijah 1423 H tahun ini keduanya bisa menyembelih hewan kurban, Subhanalloh.
Ketiga, Penulis berupaya memiliki kepekaan sosial dengan mengasah profesi sebagai promotor STIFIn. Saya bertekat untuk turut mensukseskan terwujudnya peradapan yang gemilang sukses-mulia dengan berbagi tips suksesan sebagai orang Thinking. Saran penulis agar mereka yang memiliki mesin seperti penulis dapat menerjunkan diri untuk menjadi orang yang terorganisir dan logis, melakukan pertimbangkan sebab akibat, memfokuskan pada konsekuensi, biasakan dengan menekankan pada aplikasi praktis, tidak membuat pertanya an apa yang “dirasa” tapi apa yang dipikirkan, dan jangan mengulang. Ciri sukses belajar orang Thinking adalah diberi recognition oleh orang yang dihormatinya berikut petikan apresiasi letterPimpinan RS Paru Dr Arya Sidemen, SE,. MPH,. MBA terhadap penulis : “Dwi ini orangnya peduli… Apa yang dipelajarinya, bagaimana dia mencoba menerapkan dalam hidup kesehariannya dia tularkan kepada orang lain, orang banyak, baik melalui diskusi maupun penulisan-penulisannya. Dwi orangnya ulet dan selalu berupaya untuk didengar. Demi kebaikan, demi keyakinannya” (April 2011).
Keempat, hal yang untuk dilakukan penulis terhadap protege feeling dengan mengatakan saya setuju dengannya terkait hal yang mubah, berupaya menghargai usaha dan kontribusi mereka, mengenali legitimasi perasaannya, membicarakan tentang kepedulian, tersenyum dan pelihara kontak mata jika berkomunikasi dengannya serta ramah dan penuh pertimbangan.
Kelima, hal yang untuk dilakukan penulis terhadap protege insting dengan berbicara straight to the point dg lembut, menghindari pembahasan permasalahan yang rumit, menyederhanakan kata dengan tidak bersayap serta kalimat yang efektif melalui penyelesaian kalimat dan tanggapan yang persis yang dia inginkan (tanya harga jawab harga). Wallohu A’lam bi Showab.
*(Penulis merupakan kepala keluarga Idiologis tinggal di Jember Jawa Timur)